TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DALAM DONGENG KLASIK MOMOTARO DAN TIMUN MAS

Novi Prastiti 1)
1)       Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya
Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan
Telp. 081216090242

email : prastitinovi@gmail.com


Menurut Danandjaja, 1994, dalam Purba, Asriaty R., folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Berdasarkan pengertian folklor tersebut, kita dapat mengatakan bahwa folklor bukan hanya milik golongan tertentu saja.
Menurut Sutjipto (dalam Mursini, 2007:46), dongeng dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi dengan kejadian kejadian yang tidak benar terjadi. Sebagai folklore, dongeng merupakan cerita yang hidup di kalangan rakyat,  disajikan dengan bertutur lisan oleh tukang cerita seperti pelipur lara. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa. Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat primitif  terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme.
Bentuk folklor yang didefinisikan oleh Danandjaja terdiri dari folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Folklor setengah lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. (Danandjaja, 1994)
Dongeng seringkali mempunyai unsur-unsur cerita yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya di suatu negara, bahkan juga di antara negara-negara yang letaknya berjauhan. Menurut danandjaja, pada dasarnya persamaan itu hanya dapat diterangkan dengan dua kemungkinan, yakni:      (1) monogenesis, yaitu suatu penemuan diikuti proses difusi (diffusion) atau penyebaran, (2) poligenesis, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan yang sendiri (independent invention) atau sejajar (parallel invention) dari motif-motif cerita yang sama, di tempat-tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan. (danandjaja, 1994)
Sastra Jepang juga tentunya mengenal dongeng. Dongeng dalam karya sastra Jepang dikenal dengan sebutan setsuwa. Dongeng mengisahkan cerita fiktif atau cerita imajinasi. Di dalam dongeng juga ada tokoh, alur, latar, dan unsur cerita lainnya. Biasanya dongeng menitikberatkan tema seperti moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali, dan sebagainya.
Dongeng merupakan cerita tradisional yang tumbuh di masyarakat sejak zaman dahulu, dan berasal dari generasi terdahulu. Danandjaja (dalam Rahmah, 2007:5) menjelaskan bahwa cerita dalam dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi yang diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral atau bahkan sindiran. Dongeng yang dalam bahasa Jepangnya  Setsuwa menunjukkan tokoh  yang  tidak terbatas pada dewa-dewa atau orang yang tercantum dalam lembaran sejarah saja, tetapi sering juga terdapat tokoh yang namanya tidak dikenal. Kadang menampilkan tokoh binatang atau tumbuhan. Setsuwa memiliki sifat kongkrit, peristiwa yang diungkapkan di dalamnya tersusun pendek, dan lebih teratur. Ada yang bersifat kenyataan dan ada juga yang bersifat surealisme. Isinya menceritakan atau mengungkapkan tentang perasaan, harapan dan cara berpikir rakyat.
Dengan alasan tersebut, maka penulis mengangkat tentang pesan moral yang ada dalam legenda Momotaro dan perbandingannya dengan legenda Timun Mas.
Dongeng Momotaro muncul dalam berbagai bentuk versi cerita. Akan tetapi, dongeng ini menjadi sangat populer pada akhir zaman Edo.  Demikian halnya dongeng Momotaro  karya Yei Theodora Ozaki  ini dikompilasikan kembali setelah zaman Edo.
Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat dan disegani banyak orang. Walaupun Momotaro mengetahui keberadaannya sebagai anak angkat, namun ia sangat menyanyangi dan menaruh hormat pada kedua orang tuanya. Ketika Momotaro melihat keadaan negerinya yang tidak aman, oleh karena sekawanan setan yang sering menyerang negerinya, pembunuh dan merampok orang-orang, lalu membawa semua yang bisa mereka temukan, Momotaro dengan segala keberanian dan kejujuran hatinya mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melakukan penyerangan terhadap benteng pertahanan sekawanan setan itu. Dan lagi, oleh karena kekejaman dan sikap membangkang para sekawanan setan terhadap kaisar yang melanggar peraturan-peraturan yang dibuat kaisar semakin membulatkan tekadnya untuk melakukan penyerangan.
Seperti diketahui, Timun Mas adalah salah satu dongeng yang berasa dari daerah jawa tengah. Dongeng ini  bercerita tentang seorang anak perempuan yang berusaha menyelamatkan diri dari raksasa yang akan memakannya, dengan menggunakan benda-benda ajaib pemberian seorang pertapa. Dengan benda-benda tersebut anak perempuan yang bernama Timun Mas tersebut berhasil mengalahkan raksasa, sehingga dapat kembali ke rumah ibunya. Hal yang hampir sama terdapat pula pada cerita Momotaro. Dongeng Momotaro pun bercerita tentang usaha seorang anak laki-laki melawan    oni (setan yang mengganggu manusia). Dalam menghadapi oni, Momotaro pun menggunakan keberaniannya. Akhirnya ia mampu mengalahkan oni dan bisa kembali ke rumah orang tuanya.
Dongeng Momotaro dan Timun Mas ini sarat akan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang ditunjukkan dalam dongeng ini adalah mengenai moral hidup, yaitu moral hidup yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Sikap kepribadian moral yang kuat itu seperti halnya moral keberanian, kejujuran moral, kebaikan, keadilan, sikap hormat, kemandirian moral, kerendahan hati, kesediaan untuk bertanggung jawab, realistik dan kritis. Sikap kepribadian moral yang kuat ini juga terdapat dalam prinsip etika  moral  Bushido seperti halnya, kejujuran, keberaniaan, kemurahan hati, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan.
Pembahasan masalah mengenai pesan-pesan moral ini, dikaji berdasarkan pada masalah yang berhubungan dengan  moral yang tercermin melalui cerita peristiwa baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam karya sastra tersebut. Dengan demikian, dalam ruang lingkup pembahasan ini, lebih difokuskan pada analisis pesan moral yang terdapat dalam dongeng Momotaro,  yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian/ etika  moral Bushido  seperti halnya kejujuran/ / makoto, keberanian/ / yu,  kebajikan  atau  kemurahan hati  / / jin, kesopanan atau hormat/ / rei, keadilan / kesungguhan atau integritas/ / gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠義/ chungi. Sebelum menganalisis pesan moral yang ada dalam dongeng Momotaro, penulis menjelaskan juga mengenai defenisi moral, prinsip-prinsip dasar moral, sikap-sikap kepribadian moral, prinsip etika moral Bushido, dongeng klasik Jepang, setting cerita momotaro, serta biografi pengarang.
Menurut Dagobert D. Runes (dalam Moekijat, 1995:44), Morals: The term is sometimes used as equivalent to “ethics”. More frequently it is used to designate the codes, conduct, and costoms of individuals or of group, as when one speaks of the moral of person or of a people. Here  it is equivalent to the Greek word ethos and the Latin mores. Moral:  Istilah ini kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan “etika”. Lebih sering istilah moral dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku, dan adat atau kebiasaan dari individu-individu atau kelompok-kelompok, seperti apabila seseorang berbicara tentang moral orang atau moral orang-orang. Di sini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan Latin mores. Selain itu, menurut Suseno (1989:19) mengemukakan, bahwa moral adalah hal yang mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.
Dongeng Timun Mas adalah salah satu dongeng yang berasal dari daerah jawa tengah. Sebagai suatu sastra lisan dan tidak diketahui pengarangnya, dongeng Timun Mas muncul dan diceritakan dalam beberapa versi. Berbagai versi cerita tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku kumpulan cerita anak, khususnya buku-buku kumpulan cerita rakyat. Misalnya seri cerita rakyat terbitan balai pustaka, buku cerita anak nusantara terbitan gramedia, dan sebagainya. Selain versi yang berbeda, dalam buku-buku tersebut dongeng Timun Mas pun diceritakan dengan judul dan nama-nama tokoh yang sedikit berbeda. Dan dari sekian banyak buku yang memuat cerita Timun Mas, untuk penelitian ini penulis memilih dongeng Timun Mas yang terdapat dalam buku kumpulan cerita rakyat nusantara yang disusun oleh mb. Rahimsyah (terbit pada tahun 2004). Dari beberapa versi cerita Timun Mas yang bisa penulis dapatkan, penulis menganggap bahwa versi cerita yang terdapat dalam buku ini merupakan versi yang cukup lengkap.
Dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam dongeng tersebut kepada para pembaca, penulis menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik.
Karya prosa fiksi merupakan karya yang bersifat imajinatif atau khayalan, yang berisikan berbagai masalah kehidupan manusia, baik masalah manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Namun di balik semua itu, baik secara tersurat maupun tersirat selalu menunjukkan adanya sebuah nilai-nilai moral  yang boleh diteladani oleh pembaca. 
Pesan  moral  dalam sebuah karya sastra menunjukkan kepada  pembaca akan nilai kebaikan dan kebenaran. Sehingga dalam sebuah karya sastra yang baik, tentunya harus menunjukkan penafsiran kehidupan dan mengungkapkan karakter hidup. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mengungkapkan hal-hal yang orang  lain mungkin tidak bisa untuk mengungkapkannya dan melihatnya (Siswanto, 2008:82).
KBBI (dalam Nurgiyantoro 1995:321), secara umum,  moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: ahlak, budi pekerti, susila.
Bushido sebagai salah satu moral bangsa Jepang menurut Situmorang (dalam Rahman 2006:8) adalah, semangat kesatria, moralitas bushi, atau jalan hidup bushi. Bushido tidak terlepas dari religi sebagai sumber awal, yang lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism, dan ajaran Konfisius.
Sekte Budha Zen menitik beratkan ajarannya pada cara hidup yang benar atau disiplin dan melatih diri, sekte ini lebih berorientasi ke arah apresiasi dan pemahaman dari pada pemujaan. Ajaran Zen melebihi dogma dari sebuah sekte dan terdapat mengenai pikiran absolute. Melalui ajaran Zen, dapat menghadirkan usaha manusia mencapai arena pemikiran absolut. Metodenya adalah sebuah perenungan (niat) yang merupakan sebuah tujuan yang menyakinkan prinsip yang mendasari semua fenomena. Jika hal itu bisa, maka akan mencapai keabsolutan dan keharmonisan. 
Shinto adalah satu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Dalam Shinto terdapat banyak nilai moral seperti tanggung jawab terhadap penguasa, cinta pada leluhur, kasih sayang, juga kecintaan terhadap tanah air (patriotism).
Ajaran Konfusionis adalah mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarkan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan ketika kelas samurai (bushido). Sikap ketaatan kepada orang tua akan menghasilkan sikap setia yang akan menjadi kebajikan tertinggi.
Seluruh etika yang terdapat dalam Bushido dijadikan standard moral, agar para bushi dapat melihat dan membedakan sikap yang benar dan salah dalam menjalani kehidupannya. Dalam moral Bushido, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, kebajikan/ kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan, dan kesetiaan.
Moral  dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.  Moral  dalam cerita menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro 1995:322), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu, yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.  Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.  Moral  bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau  modelnya  ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagai model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat tokoh-tokohnya.
Pendekatan moral bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium (arah) yang paling efektif membina orang dan kepribadian suatu kelompok masyarakat.  Moral  juga diart ikan sebagai norma-norma sosial atau konsep kehidupan yang disanjung tunggi oleh sebagian besar masyarakat. 
Pendekatan  moral  pada sebuah karya sastra dilihat dari etika dan keyakinan, sehingga pendekatan ini cenderung menjerumus kepada segi-segi nilai keagamaan. 
Berdasarkan pendekatan  moral, penulis dapat mengungkapkan  amanat atau pesan yang ada dalam cerita dongeng, yang dikaji berdasarkan  tindakan/perilaku positif oleh para tokoh cerita, yang menunjukkan pesan-pesan moral, khususnya etika  moral  Bushido. Oleh sebab itulah penulis menggunakan pendekatan moral.
Pendekatan kedua yang penulis gunakan adalah pendekatan  semiotik. Pendekatan  semiotik  merupakan salah satu kritikan yang penting dan popular dalam bidang bahasa dan kesusasteraan. Pendekatan ini menggunakan prinsip-prinsip teori semiotik sebagaimana yang yang dikemukakan oleh beberapa orang tokoh seperti Fredinand de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto Eco, Jurij  Lotman dan lain-lain.  Pradopo, dkk (2007:71), menyatakan bahwa semiotik itu adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda itu memiliki arti.
Sastra  semiotik  memusatkan kajiaannya pada lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan di dalam karya sastra. Pendekatan  semiotik beranggapan karya sastra memiliki sistem tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistem tanda atau lambang dalam karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. 
Berdasarkan pendekatan semiotik, penulis dapat menginterpretasikan sikap para tokoh-tokoh ke dalam tanda. Tanda yang ada pada dongeng akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana yang  merupakan tindakan para tokoh yang mencerminkan moral. Oleh sebab itulah, penulis memilih menggunakan pendekatan semiotik.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagai suatu dongeng nusantara, dongeng Timun Mas berasal dari daerah jawa tengah, maka untuk memahami latar belakang budaya masyarakat yang terdapat dalam dongeng tersebut, pada bagian ini penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan jawa. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur bahasa, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan moral.
Berdasarkan uraian dan pengertian mengenai kebudayaan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagian hidup lahir batin (koentjaraningrat 1995: 166)
Kebudayaan jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Kedatangan  bangsa Hindu dengan kebudayaannya di pulau Jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa, dan ketika agama Islam masuk ke pulau Jawa, maka kebudayaan Jawa menjadi sebuah kebudayaan yang bersifat sinkretis yang memadukan unsur-unsur asli Jawa, Hindu–Jawa dengan Islam ke dalam satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Jawa. Bagi orang Jawa sendiri, kebudayaan Jawa bukanlah sebuah kesatuan yang homogen. Masyarakat Jawa menyadari bahwa dalam kebudayaannya terdapat keanekaragaman yang bersifat regional sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman kebudayaan ini tampak pada unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, kesenian rakyat dan sebagainya.
Kebudayaan Jawa yang hidup di kota-kota Yogya dan Solo merupakan peradaban orang jawa yang berakar di kraton. Kebudayaan ini ditandai  oleh suatu kehidupan yang sinkretis, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha dan Islam. Adapun suatu kebudayaan yang terdapat di kota-kota pantai utara pulau jawa disebut kebudayaan pesisir. Penduduk daerah pesisir ini pada umumnya memeluk suatu agama Islam puritan yang juga mempengaruhi kehidupan sosial budaya mereka.
 Seperti juga kebudayaan jawa yang penulis uraikan sebelumnya, pada uraian kali ini pun penulis akan menjelaskan mengenai kebudayaan jepang yang dilihat dari unsur-unsur budayanya. Unsur-unsur yang dipaparkan pun meliputi empat hal, yaitu unsur bahasa, sistem mata pencaharian, organisasi sosial dan religi.
Menurut antropolog jepang, Eiichiro Ishida dari Universitas Tokyo, kebudayaan Jepang yang berasal dari Dinasti Yamato telah mendapatkan pengaruh yang cukup kuat dari Buddhisme dan peradaban China. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti  kebudayaan Jepang sampai abad ke-20 sudah ada, sejak Dinasti Yamato memperkenalkan kitab suci sutra dari Buddhisme Korea dan Analect Konghucu dengan huruf Cina, sementara pola-pola dasar kebudayaan Jepang sudah diletakkan pada Periode Yayoi, yakni sekitar abad ke-3 sm sampai dengan abad ke-3 Masehi (Ishida, melalui Danandjaja,1997:12)
Baik dalam budaya Jawa maupun dalam budaya Jepang, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan orang-orang suci yang mempunyai kemampuan spiritual tinggi dan dianggap mampu mengalahkan kejahatan-kejahatan yang bersifat gaib. Kepercayaan ini merupakan pengaruh dari ajaran Buddha yang berkembang baik di Indonesia maupun di Jepang.
Dalam budayanya masyarakat Jawa dan masyarakat Jepang percaya pada keberadaan makhluk-makhluk gaib yang menyeramkan dan menguasai suatu daerah tertentu. Makhluk-makhluk seperti ini dipercaya sebagai makhluk yang sering mengganggu bahkan memakan manusia. Dalam masyarakat Jawa, makhluk-makhluk tersebut disebut dengan  memedhi, seperti jin, setan, raksasa, dan sebagainya, sedangkan dalam kepercayaan masyarakat Jepang, makhluk menyeramkan tersebut terdapat dalam sosok-sosok aneh seperti Kappa, Tengu, Tanuki, Yamanba, dan sebagainya.
Sehingga, dalam kepercayaan jawa dan Jepang juga mengandung nilai moral yang sama, yaitu kesamaan dalam hal penggunaan kecerdasan dengan menggunakan akal, bahkan untuk melawan makhluk gaib sekalipun. Selain itu, pesan moral dalam kedua cerita tersebut adalah jangan mudah menyerah dalam menghadapi segala sesuatu yang bahkan lebih besar dari kita.



Kesimpulan
Dongeng yang dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah  mukashi banashi merupakan suatu cerita kolektif kesusasteraan lisan yang menggambarkan peristiwa dahulu kala. Seperti halnya dongeng-dongeng lain di dunia, dongeng Timun Mas dan dongeng  Momotaro pun memiliki ciri khas yang sesuai dengan kehidupan masyarakat dan budayanya.
Berdasarkan jenisnya, dongeng  Timun Mas dan dongeng  Momotaro termasuk dalam kategori ordinary tales (dongeng biasa) karena kedua dongeng tersebut menceritakan tokoh-tokoh manusia biasa yang mengalami suka dan duka dalam kehidupannya. Dongeng Timun Mas menceritakan suka duka kehidupan Mbok Rondo dan Timun Mas. Karena pelanggaran janji yang dilakukan oleh Mbok Rondo, keduanya harus berjuang menghadapi ancaman raksasa yang akan memakan Timun Emas. Sementara dongeng Momotaro menceritakan suka duka perjalanan Momotaro  harus menghadapi ancaman  Oni, hantu penjaga neraka yang ingin memakan Momotaro.

Daftar Pustaka
Anonim. 1998. The Kodansha Bilingual Encyclopedia Of Japan. Tokyo: Kodansha Internasional.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Grafitipers.

_______________.1997.Folklor Jepang: Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Irianti, Sri.1992. Analisis Perbandingan Minwa Dan Cerita Rakyat Melalui Momotaroo-Putri Timun Mas Dan Tanishi To Kitsune- Kancil Dan Siput. Skripsi  Program Bahasa Dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. Tidak Dipublikasikan.

Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang : Fasindo.


Comments

Popular Posts