Skip to main content

Perkembangan Seni Patung Jepang

SENI PATUNG



Oleh :
Novi Prastiti                            120610216
O Lydia Panduwinata             120710298


DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2009

I.   Latar Belakang
 Seni pahat di Jepang dimulai pada jaman Jomon. Hal ini, ditandai dengan ditemukannya banyak arca kecil yang dikenal sebagai dogū di Jepang bagian timur. Sejak dulu, dogū disimbolkan dengan alat vital perempuan dan juga dihubungkan dengan pemujaan, tetapi fungsinya sendiri masih menjadi misteri. Dengan pemahaman contoh pada akhir jaman Jomon, dogū digambarkan mempunyai mata besar berbentuk oval, tubuh bagian depan setengah berlutut dan permukaannya terdapat ornamen rumit.
Dogū menghilang diakhir jaman Jomon dan muncul lagi pada jaman Kofun yang merupakan lanjutan dari tradisi seni pahat, haniwa. Haniwa juga merupakan ciri khas negara Jepang, berbentuk silinder yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan api sedang, diletakkan disekitar tumuli (kuburan) untuk memisahkan peninggalan keramat dari leluhur. Sebaliknya, mayoritas memiliki struktur yang sederhana, terkadang berlubang-lubang, yang lain dibatasi oleh gambar burung dan hewan, topi baja, bejana makanan, rumah dan benda keseharian lainnya; atau berupa gambar manusia termasuk dukun dan manusia bersenjata. Topeng mereka dibentuk dengan garis horizontal yang berlubang pada mata dan mulut, hal ini sering berlawanan dengan pakaian atau ornamen yang terperinci.


II.   Perkenalan dengan Budha
 Jepang memasuki saat bersejarah bagi seni pahat, seiring dengan transmisi Budha dari Asia pada abad ke-6. Kerajaan Korea, Paekche, menjadi yang pertama kali mengirim patung Budha ke Jepang pada tahun 538 dan mengirim pemahat pada tahun 577. Sejak Jepang tidak melanjutkan tradisi pengembangan seni pahat, Jepang memakai bentuk dan teknik dari dataran Cina. Contoh pertama yang menyebarkan penampilan seni pahat dari dinasti Wei Utara yang ditafsirkan oleh semenanjung Korea. Penampilan seni pahat Jepang kebanyakan diberi lapisan perunggu yang mengkilat, dan terbuat dangan teknik penghilangan wax, sementara itu yang lain dipahat dari kayu pohon champor. Dahulu, catatan mengenai jumlah patung di Jepang dibuat oleh tiga pemahat imigran pada tahun 587, yang ahli untuk menyembuhkan Kaisar Yōmei dari penyakitnya. Peristiwa ini terjadi terus menerus pada abad 7 dan 8 - peranan penting dimainkan oleh seniman imigran dan pelatihan seni pahat untuk persiapan perbandingan ini sangat menguntungkan.
Patung pertama yang masih tersisa di Jepang sangat merusak image Hōkō-ji di Nara, gambar lapisan perak dari Shaka, dimainkan oleh Kuratsukuri no Tori yang dikenal sebagai Tori Busshi (600-630), generasi ketiga dari imigran Korea. Karya terkemukanya adalah Triad of Shaka, sekarang menjadi gambar utama Hōryū-ji, juga di Nara, di tahun 622 yang membantu menyembuhkan penyakit Shōtoku Taishi (574-622). Ini dibedakan oleh postur bagian depan yang statis, garis lurus pada kepala, dan mengidealkan tampakan wajah. Dan menitikberatkan pada style dataran Cina, dengan bentuk yang berbeda-beda melebihi bentuk dataran Cina.
Seni pahat pada abad ke-7 dan 8 ditandai dengan kelanjutan mengadaptasi dan penggambaran ulang gaya dan teknik dari dataran Cina. Sejak adanya kontak dengan dataran Cina, tidak terelakkan lagi, gaya Cina dan Korea yang diformulasikan oleh orang Jepang, hasilnya masih terlihat sama dengan aslinya (prototype). Lapisan perak diproduksi dengan frekuensi yang ditentukan, tetapi bahan-bahan yang lain masih dikuasai dengan baik seperti tanah liat dan sampang.
Perwakilan seni pahat di akhir abad ke-7 dan mengungkap pengaruh gaya Tang adalah pada lapisan perak Kannon yang berdiri, dikenal dengan ‘Yumetagae Kannon’, yang juga merupakan koleksi dari Hōryū-ji. Transformasi gaya bahasa dari pertengahan abad merupakan bukti dari makin alamiahnya perawatan tubuh. Beberapa image yang terkenal dari dekade pertama di abad ke-8 adalah patung dari tanah liat yang menjadi pemandangan tingkat dasar dari pagoda lima tingkat di Hōryū-ji, yang menampilkan pose dan ekspresi realisme yang lebih hebat. Karya lainnya seperti Triad of The Healing Budha adalah ciri utama dari Yakushi-ji.
Tengah dekade abad ke-8 didominasi oleh gaya Great Budha oleh Kaisar Shōmu (701-756) pada 743 sebagai simbol kesatuan negara dan ajaran Budha. Pengerjaan image dan kuil belum terlaksana sampai tahun 745 dan belum usai sampai tahun 757. Patung-patung yang sekarang ada di Great Budha Hall di Tōdai-ji merupakan rekonstruksi dari akhir abad 17, hanya kaki dan alas lotus yang masih asli. Proyek ini diambil dari sumber nasional dan menghasilkan Shōmu yang merupakan akhir dari teokrasi. Meskipun demikian, image tetap menjadi simbol yang kekal dalam sejarah Jepang.

III.   Maraknya Penggunaan Kayu
 Pada akhir abad ke-8, Jepang mulai mengeksplorasi seni pahat dengan ekspresi yang berasal dari pribumi yang telah mengalami kedewasaan pada periode Heian. Perubahan teknis seiring dengan pengenalan kayu menggantikan sampang dan perunggu sebagai bahan yang sering digunakan dan seniman Jepang mulai memanfaatkan bahan tersebut dengan cara yang berbeda. Daya tarik kayu sendiri telah mendarah pada tradisi Shinto yang berkutat pada kesucian sebuah pohon dan mungkin bukan suatu kebetulan jika seni pahat Shinto pertama muncul pada jaman ini.
Satu dari patung-patung yang pertama yang mencerminkan perubahan radikal yaitu pada patung Healing Budha yang berdiri pada Jingo-ji di Kyōto. Patung itu dipahat dari satu balok pohon cemara dan pemahatnya mengutamakan kualitas pada bahan dengan menambahkan aksen berupa pahatan pada permukaan yang tidak dikenai cat. Beberapa pahatan wajah dan tubuh masih terpengaruh gaya di akhir periode Tang, tapi mereka berhasil mencapai kehebatannya di bawah seniman Jepang. Semenjak satu balok kayu dipakai pada pertengahan abad ke-9 mulai dibelah, pemahat bertahap menemukan cara untuk membuang bagian tengah kayu. Pertama, dicoba dengan melubangi belakang image dari bagian pundak sampai pergelangan kaki, tetapi pada awal abad ke-10 metode ini berubah dengan melubangi pohon terlebih dahulu, kemudian memahatnya. Lalu, dengan cepat mereka mulai menggunakan beberapa pohon.
Perkembangan style tetap bisa dilacak dari akhir abad ke-9 sampai akhir abad ke-11. Ini biasa disebut native style dari pertengahan abad 11 yang di-image-kan dengan patung Budha Amida yang berada di Phoenix Hall dari Byōdō-in di Kyōto Selatan. Dikumpulkan oleh seniman Jocho pada tahun 1053, ekspresi wajah dan tubuh masih diukur dan pakaiannya terlipat mencerminkan rumus dua dimensi. Image itu dipahat memakai pohon cemara Jepang, yang secara teknik masih menggabungkan beberapa kayu yang sebelumnya dilubangi terlebih dahulu sebelum disatukan. Metode ini disempurnakan oleh Jocho dan asistennya, dengan fasilitas yang lengkap dari gambar yang besar, sejak semua persiapan telah dilakukan di tempat kerja.
Seni pahat di akhir jaman Heian didominasi oleh penampilan seantero Jepang yang jumlah karyanya tak terhitung lagi yang merupakan tiruan dari Jocho. Secara garis besar, image tersebut diproduksi oleh seniman yang bersaing antar keturunan, seperti In School dan En School, yang menerima komisi dari anggota keluarga kerajaan dan aristokrat yang berkuasa. Sekitar tahun 1150, pemahat di luar kota besar mencari cara lain untuk mengubah style asli. Perubahan pertama muncul di Nara dengan patung seperti Amida triad pada Chōgaku-ji (1151). Seniman lainnya menyingkirkan lipatan dua dimensi dan menggantinya dengan plastik sehingga menciptakan bentuk permukaan baru. Untuk memeriahkan image­-nya, seniman menatakan mata dari dalam dengan gelas kristal dan mewarnai pupil dengan lingkaran berwarna merah umtuk menambah kesan alaminya.

IV.   Rekonstruksi Nara
 Satu lagi kegiatan alami yang bisa menjadi suatu tanda langka bagi para pemahat di Nara selama bekerja pada akhir jaman Heian dan awal periode Kamakura. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Kōkei (1175-95), anaknya yang bernama Unkei (?-1223) dan kepala murid Kaikei (1189-1223). Terbakarnya kuil Nara di Tōdai-ji dan Kōfuku-ji pada tahun 1180 selama perang sipil antara Taira dan Minamoto menyerang para pemahat di tengah kegiatan mereka. Selama tahun 1180 dan 1190-an mereka membangun kembali semua yang terbakar, dan banyak memasukkan style lama dalam prosesnya. Untuk menyesuaikan pembaruan, mereka memodifikasi teknik menyambung kayu. Mereka juga melubangi kayu lebih sedikit untuk memberi kerja maksimal pada teknik pahatan alami mereka.
Mengingat Unkei dan anaknya bekerja untuk bermacam-macam pelindung dari Jepang Timur, seperti Nara dan Kyōto, Kaikei bekerja semata-mata hanya untuk Chōgen (1121-1206), biarawan mengorganisir rekonstruksi Tōdai-ji. Koleksi gambar Chōgen di kuil, penting untuk realisme yang sulit dikompromi, merupakan salah satu dari seni pahat Jepang pada abad ke-13. Unkei menyeimbangkan naturalisme dengan idealisme untuk menciptakan dinamisme, intensitas dan kekuatan dalam yang besar, sebagai bukti gambar dari Asanga dan Vasubandhu di Kōfuku-ji. Di lain pihak, Kaikei berusaha memperhalus unsur alami dalam karyanya untuk menciptakan suatu karakteristik dengan penyempurnaan eksterior. Kepopuleran style dari Kaikei antara komunitas Pure Land yang terbentuk di sekitar Chōgen yang telah diperlihatkan oleh banyaknya karya Amida yang telah ia buat.
Setelah kematian Unkei, anaknya meneruskan karya ayahnya, tetapi pada dekade terakhir abad ke-13, karya mereka sudah lazim dipakai. Murid Kaikei berusaha untuk mengabadikan style-nya, tetapi sebagian besar dari seni pahat yang dihasilkan kehilangan nilai agama dari karya gurunya. Dampak dari style Song dapat dilihat di Kamakura yang mengarah ke China yang menggambarkan tentang Sekte Zen; dibawah pengaruh Budha Zen, tipe baru dari gambar dikenal sebagai chinsō, diperkenalkan. Pada image ini, yang mengingatkan pada pelajaran yang diberikan oleh guru pada muridnya, bentuknya secara umum biasanya duduk di kursi dengan kaki dilipat dibawahnya. Bentuknya telah distandarkan, namun seni pahat mendapatkan perhatian besar pada bentuk fisiknya.


V.   Perkembangan Seni Pahat Selanjutnya
 Seni pahat pada periode Muromachi, Momoyama dan Tokugawa melakukan sedikit banyak peniruan pada style awalnya, dan hasil karyanya mempunyai sedikit originalitas. Hanya pada sebagian kecil pekerjaan dari pemahat yang memahat bagian dari religius menunjukkan beberapa perkembangan diantaranya: Enkū (?-1695) yang melakukan perjalanan ke seluruh Jepang menghasilkan kuantitas image. Para pemahat profesional secara berkesinambungan membuat dekorasi secara arsitektural.
Pada saat Jepang melakukan politik terbuka kepada negara barat selama periode Meiji pola-pola pahatan lama dihapuskan dan pemahat tradisional dipaksa untuk memahat netsuke dan memahat pada gading untuk bertahan hidup. Lainnya, seperti Takamura Kōun (1852-1934), yang secara sukses mengombinasikan realisme Barat dengan budaya tradisional. Untuk perbandingan dengan seni lukis, bagaimanapun, ideologi seni pahat Barat tidak berkembang selama periode Meiji, sejak seni pahat para pemahat tidak menunjukkan karya seni yang tinggi. Beberapa dari karya-karya pertama yang dihasilkan dengan style Barat adalah sebagian image publik pada perunggu dari kultural pahlawan-pahlawan Jepang yang penting untuk pemerintahan Meiji. Kebudayaan itu berlangsung selama tahun 1950-an bahwa pemahat Jepang dapat mengasimilasi tradisi-tradisi Barat dan menransformasikan melalui pilihan-pilihan estetika yang mereka lihat sebagai akar budaya mereka dimasa lalu.


VI.   Kesimpulan
 Dari studi literatur yang dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa seni pahat Jepang adalah sebuah tradisi untuk melakukan perlindungan terhadap diri sendiri. Hal ini dapat dilihat pada bentuk seni pahat pertama kali yang disebut sebagai dogū yang di-image­-kan sebagai bentuk wanita yang diharapkan dogū yang berfungsi sebagai jimat tersebut dapat melindungi seseorang dari bahaya seperti perlindungan yang diberikan oleh seorang ibu.
Pada perkembangannya seni pahat Jepang mengalami asimilasi dengan budaya Barat dan mengalami perkembangan berdasarkan media yang gunakan mulai dari kayu, gading, dan perunggu. Namun, asimilasi dengan budaya Barat tidak dapat menghilangkan kebudayaan Jepang yang selalu mengandung estetika dalam pembuatannya sehingga pembuatan seni pahat dengan budaya Jepang dapat dipertahankan hingga saat ini.

Comments

Popular Posts